Senin, 15 Juli 2013

HERNIA NUKLEUS PULPOSUS (HNP)


KERANGKA TEORI

A.    Definisi
Nyeri punggung bawah miogenik adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan di daerah antara vertebra torakal 12 sampai dengan bagian bawah pinggul atau lubang dubur. Yang timbul akibat adanya potensi kerusakan ataupun adanya kerusakan jaringan antara lain: dermis pambuluh darah, facia, muskulus, tendon, cartilago, tulang ligament, intra artikuler meniscus, bursa (Paliyama, 2003).
Nyeri punggung bawah miogenik berhubungan dengan stress/strain otot punggung, tendon, ligament yang biasanya ada bila melakukan aktivitas seharihari berlebihan. Nyeri barsifat tumpul, intensitas bervariasi seringkali menjadi kronik, dapat terlokalisir atau dapat meluas ke sekitar glutea. Nyeri ini tidak disertai dengan hipertensi, parestesi, kelemahan atau defisit neorologis. Bila batuk satau bersin tidak menjalar ke tungkai (Paliyama, 2003).
1.      Pengertian HNP
Hernia Nucleus Pulposus (HNP) adalah salah satu akibat dari trauma yang mengenai diskus intervertebralis. Pada tahap pertama robeknya anulus fibrosus dan menjebolkan (hernia) nukleus pulposus ke kanalis vertebralis berarti bahwa nukleus pulposus menekan pada radiks yang bersama-sama dengan arteria radikularis berada dalam bungkusan dura. Hal ini terjadi apabila tempat penjebolan di sisi lateral. (Priguna, 1983).



B.     Anatomi dan Fisiologi
1.      Strukrur tulang vertebra lumbal
Tulang vertebra lumbal tersusun 5 vertebra yang bersendi satu sama lain yang berperan penting dalam menjalankan fungsinya untuk menyangga tubuh dan alat gerak tubuh. Susunan tulang vertebra secara umum terdiri dari corpus, arcus, dan foramen vertebra.
a.       Korpus
Merupakan bagian terbesar dari vertebra, berbentuk silindris yang mempunyai beberapa facies (dataran) yaitu : facies anterior berbentuk konvek dari arah samping dan konkaf dari arah cranial ke caudal. Facies superior berbentuk konkaf pada lumbal 4-5 (Kapandji, 1990).
b.      Arcus
Merupakan lengkungan simetris di kiri-kanan dan berpangkal pada korpus menuju dorsal pangkalnya disebut radik arcus vertebra dan ada tonjolan ke arah lateral yang disebut procesus spinosus (Susilowati, dkk, 1993).
c.       Foramen vertebra
Merupakan lubang yang besar yang terdapat diantara corpus dan arcus bila dilihat dari columna vetebralis, foramen vetebra ini membentuk suatu saluran yang disebut canalis vetebralisalis, yang akan terisi oleh medula spinalis (Susilowati, dkk, 1993).  
2.      Diskus intervertebralis
bagian dalam disebut nukleus pulposus merupakan bahan gelatinosa dengan sifat daya pengikat air yang kuat karena mengandung 88% air, (2) bagian tepi disebut annulus fibrosus yang terdiri dari atas serabut-serabut kolagen yang tersusun konsentrasi dan fibrikartilago yang berbeda dalam keterangan oleh nukleus pulposus (Platzer, 1992)
Merupakan struktur elastis diantara korpus vertebra. Struktur diskus bagian dalam disebut nucleus pulposus, sedangkan bagian tepi disebut annulus fibrosus. Diskus berfungsi sebagai bantalan sendi antara korpus yang berdekatan sebagai shock breaker pada berbagai tekanan dalam menumpu berat badan (Kapandji, 1990).
normal disc, vertebra, nerves
 
















Gambar 3.1 :
Anatomi vertebra ((Kapandji, 1990)
3.      Stabilitas
Stabilitas pada vertebra ada dua macam yaitu stabilisasi pasif dan stabilisasi aktif. Untuk stabilisasi pasif adalah ligament yang terdiri dari :
a.       ligament longitudinal anterior yang melekat pada bagian anterior tiap diskus dan anterior korpus vertebra, ligament ini mengontrol gerakan ekstensi,
b.       Ligament longitudinal posterior yang memanjang dan melekat pada bagian posterior dikcus dan posterior korpus vertebra. Ligament ini berfungsi untuk mengontrol gerakan fleksi,
c.        ligament flavum terletak di dorsal vertebra di antara lamina yang berfungsi melindungi medulla spinalis dari posterior,
d.       ligament tranfersum melekat pada tiap procesus tranversus yang berfungsi mengontrol gerakan fleksi.

Sedangkan yang berfungsi untuk stabilisasi aktif adalah adalah otot-otot yang berfungsi untuk penggerak lumbal yang terletak di sebelah anterior, lateral maupun posterior. Otot-otot disebelah anterior dan lateral, antara lain : m. rektus abdominis, m. obliqus internus, m. psoas mayor, dan m. quadratus lumborum.
Otot-otot di sebelah posterior Antara lain: m. longisimus thorakalis, m. iliocostalis.

4.      Biomekanik vertebra lumbal
Gerakan yang terjadi pada vertebra lumbal yaitu :
a.       Gerakan fleksi
Pengukuran lingkup gerak sendi dilakukan dengan menggunakan mid line. Data yang diambil dalam pengukuran ini adalah lingkup gerak sendi pada vertebra. Dalam pengukuran ini dilakukan dengan cara posisi pasien berdiri, kemudian terapis meletakkan mid line dengan patokan Vc7 dan Vs1 untuk gerakan fleksi-ekstensi. Pasien diminta melakukan gerakan fleksi-ekstensi dan diukur berapa selisih dari pengukuran dalam posisi normal. Pada orang normal selisih antara posisi normal dengan posisi fleksi atau ekstensi rata-rata sekitar 10 cm atau 4 inci
b.      Gerakan lateral fleksi
Dengan otot penggerak m. obliqus internus abdominis, m. rektus abdominis (Hislop and Jaqueline, 1993). Untuk gerakan lateral fleksi, pengukuran dilakukan dengan meletakkan mid line pada jari tengah, kemudian ukur jarak normal (saat berdiri tegak) dari jari tengah sampai lantai. Setelah itu pasien diminta untuk melakukan gerak lateral fleksi kanan dan kiri, ukur jaraknya dari jari tengah sampai lantai, apakah ada perbedaan yang mencolok antara kanan dan kiri. Apabila ada perbedaan yang mencolok antara kanan dan kiri berati ada keterbatasan lingkup gerak sendi (LGS) pada salah satu sisi. Pemeriksaan lingkup gerak sendi fungsional dengan tes Schober’s Pemeriksaan ini menggunakan alat ukur midline dengan tujuan untuk mengetahui apakah ada keterbatasan gerak lumbal dan evaluasi perkembangan terapi sesuai kondisi penyakit. Posisi pasien adalah berdiri. Cara pengukurannya yaitu tandai spina iliaka posterior superior. Dengan menggunakan midline, tandai 5 cm di bawah spina iliaka dan 10 cm di atas spina iliaka. Pasien menekuk pinggang ke depan, lalu ukur jarak kedua titik tersebut (pengukuran dimulai dari 15 cm). Pasien dikatakan normal bila jarak kedua titik lebih dari 20 cm, sedangkan pasien dikatakan tidak normal bila jarak kedua titik kurang dari 20 cm (Mosses, 2007).

C.    Patologi
Hernia Nucleus Pulposus merupakan salah satu keadaan dimana terjadi herniasi daripada nucleus yang mendesak anulus pibrosus bahkan jebolnya dinding anulus pibrosus ke arah postero lateral atau posterior yang akan menekan ligament longitudinal posterior yang sangat sensitif, sehingga menimbulkan inflamasi, bahkan menekan forament intervertebralis yang banyak mengandung radiks, pembuluh darah, pembuluh darah lymphe maupun lemak yang nantinya akan mengakibatkan rasa nyeri di daerah pinggang. Keluhan yang dipastikan akan meningkatkan secara cepat, terutama keluhan nyeri tersebut dapat mengganggu kehidupan sehari-hari yang nantinya akan menghambat seseorang dalam beraktivitas secara produktif.
Penyebab dari HNP secara umum adalah usia lanjut, proses degenerasi, pekerjaan dan trauma yang berulang. Sedangkan penyebab HNP secara patologi adalah bergesernya posisi nucleus pulposus ke arah postero lateral atau posterior akibat kerusakan anulus pibrosus. Kerusakan anulus disebabkan oleh karena trauma, misalnya mengangkat kuat dengan membungkuk, memutar atau kombinasi keduanya.

1.        Etiologi
        Kelainan nyeri punggung bawah miogenik dapat disebabkan karena :
a.       Ketegangan otot
Ketegangan otot dapat timbul disebabkan oleh sikap tegang yang konstan atau berulang-ulang pada posisi yang sama sehingga akan memendekan otot-otot yang akhirnya menimbulkan nyeri. Nyeri juga dapat timbul karena regangan yang berlebihan pada perlekatan otot terhadap tulang.

b.      Spasme / kejang otot
Spasme / kejang otot disebabkan oleh gerakan yang tiba-tiba dimana jaringan otot sebelumnya dalam kondisi yang tegang / kaku / kurang pemanasan.Spasme otot ini memberi gejala yang khas, ialah dengan adanya kontraksi otot akan disertai rasa nyeri yang hebat. Setiap gerakan akan memperberat rasa nyeri sekaligus menambah kontraksi. Akan terjadi lingkaran suatu nyeri, kejang atau spasme dan ketidak mampuan bergerak.
c.       Defisiensi otot
Defisiensi otot dapat disebabkan oleh kurangnya latihan sebagai akibat, dari tirah baring yang lama maupun immobilisasi.
d.      Otot yang hipersensitif
Otot yang hipersensitif akan menciptakan satu daerah kecil yang apabila dirangsang akan menimbulkan rasa nyeri ke daerah tertentu.Daerah kecil tadi disebut sebagai noktah picu (trigger point). Dalam pemeriksaan klinik terhadap penderita nyeri punggung bawah (NPB), tidak jarang dijumpai adanya noktah picu ini. Titik ini bila ditekan akan menimbulkan rasa nyeri bercampur rasa sedikit nyaman (Harsono, 1996).

2.    Patofisiologi
Pada tahap pertama sobeknya anulus fibrosus itu bersifat sirkumferensial. Karena adanya gaya traurnatik yang berulang, sobekan itu menjadi lebih besar dan timbul sobekan radial. Apabila hal ini telah terjadi, maka risiko HNP hanya menunggu waktu dan trauma berikutnya saja. Gaya presipitasi itu dapat diasumsikan seperti gaya traumatik ketika hendak menegakkan badan waktu terpeleset, mengangkat benda berat, dan sebagainya.
Menjebolnya (herniasi) nukleus pulposus dapat mencapai ke korpus tulang belakang di atas atau di bawahnya. Bisa juga menjebol langsung ke kanalis vertebralis. Menjebolnya sebagian nukleus pulposus ke dalam korpus vertebra dapat dilihat pada foto rontgen polos dan dikenal sebagai nodus Schmorl. Sobekan sirkumferensial dan radial pada anulus fibrosus diskus intervertebralis berikut dengan terbentuknya nodus Schmorl/ merupakan kelainan yang mendasari low back pain subkronis atau kronis yang kemudian disusul oleh nyeri sepanjang tungkai yang dikenal sebagai iskhialgia atau siatika. Menjebolnya nukleus pulposus ke kanalis vertebralis berarti bahwa nukleus pulposus menekan radiks yang bersama-sama dengan arteria radikularis yang berada dalam lapisan dura. Hal itu terjadi jika penjebolan berada di sisi lateral. Tidak akan ada radiks yang terkena jika tempat herniasinya berada di tengah. Pada tingkat L2, dan terus ke bawah tidak terdapat medula spinalis lagi, maka herniasi yang berada di garis tengah tidak akan menimbulkan kompresi pada kolumna anterior. Setelah terjadi HNP, sisa diskus intervertebral ini mengalami lisis, sehingga dua korpora vertebra bertumpang tindih tanpa ganjalan.
Pada percobon Les Laseque atau tes mengangkat tungkai yang lurus (straight leg raising), yaitu mengangkat tungkai secara lurus dengan fleksi pada sendi panggul, akan dirasakan nyeri di sepanjang bagian belakang (tanda Laseque positif).
3.    Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala nyeri punggung bawah akibat miogenik adalah onset/ waktu timbulnya bertahap, nyeri difus (setempat) sepanjang punggung bawah, tenderness pada otot-otot punggung bawah, lingkup gerak sendi (LGS) terbatas, tanda-tanda gangguan neurologis tidak ada (Kuntono, 2006).
4.          Prognosis
Kelainan nyeri punggung bawah miogenik ini prognosisnya baik, umumnya sembuh dalam beberapa minggu jika dilakukan tindakan terapi secara dini (R.B. Wirawan, 2004). Strain otot membaik dengan mengendalikan aktifitas fisik. Tirah Baring sedikitnya 2 hari menunjukkan efektifitas dalam mengurangi nyeri punggung. Ketika nyeri berkurang, pasien dianjurkan untuk melakukan aktifitas fisik ringan, dan aktifitas mulai ditingkatkan setelah beberapa hari selama nyeri tidak bertambah (Mirawati, 2006).

5.         Modalitas Fisioterapi
1.      MWD ( Micro Wave Diathermi)
Microwave diathermy merupakan suatu gelombang elektromagnetik, dengan panjang gelombang untuk terapi 12,25 cm dengan frekuensi 2450 MHz atau 69 cm dengan frekuensi 433,92 MHz.
Produksi dari microwave diathermy menggunakan tabung magnetron, dimana tabung ini melakukan waktu untuk pemanasan, biasanya dengan tombol stand by switel. Arus dari mesin mengalir ke elektroda melalu “costeoarthritisscial cable” yaitu kabel yang terdiri dari suatu kawat di tengah yang di selubungi oleh selubung logam dengan diantarai suatu bahan isolator. Arus dari mesin “costeoarthritisscial cable” menuju sebuah areal yang dapat meneruskan gelombang yang di sebut dengan emmiter director atau applicator. Dalam hal ini penderita tidak ikut termasuk dalam circuit sehingga tidak memerlukan tuning.
Apabila dari micro wave diathermy yaitu menggunakan emmiter. Emmiter ada beberapa macam bentuk yaitu ada yang berbentuk segi empat dan bulat. Pada bentuk bulat gelombang yang di pancarkan ciculair dan paling padat pada daerah tepi. Sedangkan pada emmiter segi empat gelombang yang dipancarkan oval dan paling pada di daerah tengah. Gelombang yang dipancarkan oleh elektroda akan menyebar, sehingga secara langsung kepadatan gelombang akan semakin berkurang bila jarang jauh. Berkurangnya intensitas emmiter (forster, 1981)
a.       Efek fisiologis
Micro wave diathermy memancarkan gelombang panas yang mempunyai efek terhadap pengurangan nyeri. Panas yang diberikan akan memberikan efek sedatif karena adanya kenaikan nilai ambang nyeri, selain itu ada vasoliditasi akan memperlancar efek sedatif, nilai ambang rangsang naik, penurunan sensibilitas muscle spindle (michlovitz, 1990)

2.    Pengertian MWD
Suatu aplikasi terapeutik dengan menggunakan gelombang mikro dlm bentuk radiasi elektromagnetik yg akan dikonversi dalam bentuk dengan frekuansi 2456 MHz dan 915 MHz dengan panjang gelombang 12,25 arus yang dipakai adalah arus rumah 50 HZ, penentrasi hanya 3 cm, efektif pada otot

                        a. Indikasi MWD
Selektif pemanasan otot (jaringan kolagen), spasme otot (efektif untuk sendi Inter Phalangeal, Metacarpal Phalangeal dan pergelangan tangan, Rheumathoid Arthritis dan Osteoarthrosis), kelainan saraf perifer (neuralgia neuritis)

                        b. Kontraindikasi MWD
Adanya logam, gangguan pembuluh darah, pakaian yang menyerap keringat, jaringan yang banyak cairan, gangguan sensibilitas, neuropathi (timbul gangguan sensibilitas dan diabetes melitus), infeksi akut, transqualizer (alat pada pasien dengan gangguan kesadaran), sesudah rontgen (konsentrasi EM berkelebihan), kehamilan, saat menstruasi.

                       c.  Teknik aplikasi MWD:       
• Persiapan alat, tes alat, pre pemanasan 5-10 menit, jarak <10cm dari kulit
• persiapan pasien : bebaskan dari pakaian dan logam, posisikan pasien senyaman mungkin, tes sensibilitas, jarak 5-10 cm, durasi 20-30 menit. alat 2456MHz, frekuensi terapi 3-5 x/minggu, intensitas 50-100 watt (toleransi pasien), dosis intensitas ditentukan oleh aktualitas patologi (aktualitas rendah : thermal, aktualitas sedang : subthermal, aktualitas tinggi : a thermal)


3.      US (Ultra Sound)
Merupakan suatu modalitas yang menggunakan gelombang suara dan mempunyai frekuensi sangat tinggi, tidak dapat didengar oleh telinga manusia. frekuensi yang bisa digunakan untuk terapeutik berkisar antara (0,7 MHz – 3 MHz). Jika energi US masuk kedalam jaringan tubuh, maka efek pertama yang dapat dirasakan adalah efek biologis, jika energi ini diserap oleh jaringan tubuh. Maka dengan adanya penyerapan tersebut, semakin dalam gelombang US masuk ke tubuh maka intensitasnya akan semakin berkurang.
            Gelombang US akan menimbulkan adanya peregangan dan pemanfaatan di dalam jaringan, dengan frekwensi US yang sama, sehingga dapat menimbulkan adanya variasi tekanan dalam jaringan yang berupa efek mekanik yang lebih dikenal dengan istilah micromasage. Mikromasage yang ditimbulkan oleh US akan menimbulkan efek panas dalam jaringan. Adanya efek mikromassage dan panas yang ditimbulkan oleh mesin US akan memberikan efek biologis bagi tubuh antara  lain meningkatkan sirkulasi darah, relaxsasi otot, meningkatkan permeabilitas membran, meningkatkan kemampuan regenerasi jaringan, pengurangan rasa nyeri dan pengaruh terhadap saraf perifer.
 US adalah terapi menggunakan gelombang suara tinggi ( frek > 20.000 Hz) dengan menggunakan tranduser yang bergerak dinamis ( sirkulasi dan parallel) dan menggunakan media sebagai penghantar arus US (Ultra Sound).
Indikasi

1) Kondisi peradangan sub akut dan khronik
2) Kondisi traumatik sub akut dan khronik
3) Adanya jaringan parut atau scar tissue pada kulit sehabis luka operasi atau luka bakar
4) Kondisi ketegangan, pemendekan dan perlengketan jaringan lunak (otot, tendon dan ligamentum )
5) Kondisi inflamasi khronik  
Kontra indikasi

Merupakan kontra indikasi terhadap terapi ultra sonik antara lain :
1) penyakit jantung atau penderita dengan alat pacu jantung
2) kehamilan, khususnya pada daerah uterus
3) jaringan lembut : mata, testis, ovarium, otak
4) jaringan yang baru sembuh atau jaringan granulasi baru
5) pasien dengan gangguan sensasi
6) tanda-tanda keganasan atau tumor malignan
7) insufisiensi sirkulasi darah : thrombosis, thromboplebitis atau occlisive occular disease

4.      Terapi Latihan
Terapi Latihan merupakan salah satu modalitas fisioterapi yang dalam penerapannya menggunakan gerakan- gerakan tubuh baik secara aktif maupun pasif yang ditujukan untuk mengurangi keluhan dan meningkatkan fungsi tubuh dalam aktifitas sehari- hari, sedangkan menurut beberapa ahli, terapi latihan adalah salah satu usaha yang dilakukan untukmempercepat penyembuhan dari suatu injuri atau penyakit tertentu yang merubah cara hidup yang normal. (M.Dena Gardiner,1963)
Intervensi dengan terapi latihan adalah salah satu modalitas fisioterapi yang bertujuan untuk meningkatkan keseimbangan, koordinasi, stabilitas tubuh, ketahanan dan kekuatan serta lingkup gerak sendi ( gartland, 1974).

a.       Pengertian back exercise
Back exercise adalah suatu bentuk latihan yang ditujukan untuk otot-otot stabilisator punggung.
b.       Tujuan
Ø  memperkuat otot dinding perut atau otot-otot fleksor
Ø  mengurangi spasme otot
Ø  mengurangi otot-otot yang memendek terutama otot-otot ekstensor punggung, otot hamstring dan otot quadratus lumborum. 
Ø  mengurangi gaya yang bekerja pada tulang punggung dengan cara mengurangi beban
Ø  koreksi postur.
c.       indikasi
- Menurunkan spasme dan nyeri melalui efek rileksasi
- Membebaskan kekakuan sendi intervertebralis
- Koreksi postur dgn aligment yg senormal mungkin
        d. kontraindikasi

- Spondylolisthesis
- Ankylosing spondylitis
- Fraktur,dislokasi, ruptur ligament,
- Osteoporosis, osteomalacia, dll

Spondilosis Lumbalis

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Daerah lumbal terdiri atas L1 sampai L5 dan L5 – S1 yang paling besar menerima beban atau berat tubuh sehingga daerah lumbal menerima gaya dan stress mekanikal paling besar sepanjang vertebra (Bellenir K, 2008). Menurut The Healthy Back Institute (2010), daerah lumbal merupakan daerah vertebra yang sangat peka terhadap terjadinya nyeri pinggang karena daerah lumbal paling besar menerima beban saat tubuh bergerak dan saat menumpuh berat badan. Disamping itu, gerakan membawa atau mengangkat objek yang sangat berat biasanya dapat menyebabkan terjadinya cidera pada lumbar spine.
Nyeri pinggang dapat disebabkan oleh berbagai kondisi. Kondisi-kondisi yang umumnya menyebabkan nyeri pinggang adalah strain lumbar, iritasi saraf, radiculopathy lumbar, gangguan pada tulang (stenosis spinal, spondylolisthesis), kondisi-kondisi sendi dan tulang (spondylosis), dan kondisi-kondisi tulang kongenital (spina bifida dan skoliosis) (William C. Shiel Jr, 2009). Diantara kondisi tersebut, telah diobservasi bahwa sekitar 90% pasien nyeri pinggang mengalami spondylosis lumbar (Jupiter Infomedia, 2009). Sedangkan menurut Kelly Redden (2009), nyeri pinggang dibagi atas 2 bagian yaitu mekanikal nyeri pinggang dan non-mekanikal nyeri pinggang. Mekanikal nyeri pinggang terdiri dari lumbar strain/sprain, spondylosis lumbal, piriformis syndrome, herniasi diskus, spinal stenosis, fraktur kompresi osteoporotik, spondylolisthesis, fraktur traumatik, dan penyakit kongenital (skoliosis). Diantara kondisi tersebut, spondylosis lumbal menduduki peringkat kedua dengan persentase 10% dari mekanikal nyeri pinggang sedangkan lumbar strain/sprain memiliki persentase terbanyak yaitu 70% dari mekanikal nyeri pinggang.
Spondylosis lumbal merupakan penyakit degeneratif pada corpus vertebra atau diskus intervertebralis. Kondisi ini lebih banyak menyerang pada wanita. Faktor utama yang bertanggung jawab terhadap perkembangan spondylosis lumbal adalah usia, obesitas, duduk dalam waktu yang lama dan kebiasaan postur yang jelek. Pada faktor usia menunjukkan bahwa kondisi ini banyak dialami oleh orang yang berusia 40 tahun keatas. Faktor obesitas juga berperan dalam menyebabkan perkembangan spondylosis lumbar (Jupiter Infomedia, 2009).
Spondylosis lumbal merupakan kelompok kondisi Osteoarthritis yang menyebabkan perubahan degeneratif pada intervertebral joint dan apophyseal joint (facet joint). Kondisi ini terjadi pada usia 30 – 45 tahun namun paling banyak terjadi pada usia 45 tahun dan lebih banyak terjadi pada wanita daripada laki-laki. Sedangkan faktor resiko terjadinya spondylosis lumbar adalah faktor kebiasaan postur yang jelek, stress mekanikal dalam aktivitas pekerjaan, dan tipe tubuh. Perubahan degeneratif pada lumbar dapat bersifat asimptomatik (tanpa gejala) dan simptomatik (muncul gejala/keluhan). Gejala yang sering muncul adalah nyeri pinggang, spasme otot, dan keterbatasan gerak kesegala arah (Ann Thomson, 1991).
Problem nyeri, spasme dan keterbatasan gerak dapat ditangani dengan intervensi fisioterapi. Berbagai modalitas dapat digunakan untuk mengatasi problem tersebut. Pemberian Short Wave Diathermy yang menghasilkan efek thermal dapat menurunkan nyeri dan spasme otot. Adanya efek panas yang sedatif dapat merangsang ujung saraf sensorik dan proprioseptor sehingga nyeri dan spasme otot lambat laun akan menurun (Hilary Wadsworth, 1988). Kemudian pemberian William Flexion Exercise dapat menghasilkan peningkatan stabilitas lumbal dan menambah luas gerak sendi pada lumbal melalui peningkatan fleksibilitas dan elastisitas otot (Paul Hooper, 1999). Kondisi ini juga banyak ditemukan disetiap Rumah Sakit Kota Makassar dan di RSUD. Syekh Yusuf Gowa. Berdasarkan pengamatan peneliti, beberapa pasien yang berusia 40 tahun keatas dan umumnya wanita mengalami kondisi spondylosis lumbal dengan problem nyeri pinggang serta gangguan gerak dan fungsi pada lumbal. Keadaan ini biasanya membatasi aktivitas kegiatan sehari-hari penderita dan setelah beberapa kali ditangani oleh fisioterapi kondisinya menjadi membaik. Hal ini yang mendorong peneliti tertarik mengambil topik penelitian ini.
B.     Tujuan Penelitian
2.    Tujuan Khusus
a.    Untuk mengetahui perubahan nilai VAS (intensitas nyeri) setelah diberikan Short Wave Diathermy (SWD) dan William Flexion Exercise.
b.    Untuk mengetahui perubahan fleksibilitas setelah diberikan Short Wave Diathermy (SWD) dan William Flexion Exercise.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.      Tinjauan Spondylosis Lumbal
1.    Pengertian
Spondylosis merupakan kondisi dimana terjadi perubahan degeneratif pada sendi intervertebralis antara corpus dan diskus. Spondylosis merupakan kelompok osteoarthritis yang juga dapat menghasilkan perubahan degeneratif pada sendi-sendi sinovial sehingga dapat terjadi pada sendi-sendi apophyseal tulang belakang. Secara klinis, kedua perubahan degeneratif tersebut seringkali terjadi secara bersamaan (Ann Thomson et al, 1991).
Spondylosis lumbal merupakan gangguan degeneratif yang terjadi pada corpus dan diskus intervertebralis, yang ditandai dengan pertumbuhan osteofit pada corpus vertebra tepatnya pada tepi inferior dan superior corpus. Osteofit pada lumbal dalam waktu yang lama dapat menyebabkan nyeri pinggang karena ukuran osteofit yang semakin tajam (Bruce M. Rothschild, 2009). Menurut Statement of Principles Concerning (2005), spondylosis lumbar didefinisikan sebagai perubahan degeneratif yang menyerang vertebra lumbar atau diskus intervertebralis, sehingga menyebabkan nyeri lokal dan kekakuan, atau dapat menimbulkan gejala-gejala spinal cord lumbar, cauda equina atau kompresi akar saraf lumbosacral.
Spondylosis lumbal seringkali merupakan hasil dari osteoarthritis atau spur tulang yang terbentuk karena adanya proses penuaan atau degenerasi. Proses degenerasi umumnya terjadi pada segmen L4 – L5 dan L5 – S1. Komponen-komponen vertebra yang seringkali mengalami spondylosis adalah diskus intervertebralis, facet joint, corpus vertebra dan ligamen (terutama ligamen flavum) (John J. Regan, 2010).
2.    Etiologi
Spondylosis lumbal muncul karena adanya fenomena proses penuaan atau perubahan degeneratif. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kondisi ini tidak berkaitan dengan gaya hidup, tinggi-berat badan, massa tubuh, aktivitas fisik, merokok dan konsumsi alkohol (Bruce M. Rothschild, 2009).
Spondylosis lumbal banyak pada usia 30 – 45 tahun dan paling banyak pada usia 45 tahun. Kondisi ini lebih banyak menyerang pada wanita daripada laki-laki. Faktor-faktor resiko yang dapat menyebabkan spondylosis lumbal adalah (Ann Thomson et al, 1991) :
a.    Kebiasaan postur yang jelek
b.    Stress mekanikal akibat pekerjaan seperti aktivitas pekerjaan yang melibatkan gerakan mengangkat, twisting dan membawa/memindahkan barang.
c.    Tipe tubuh
Ada beberapa faktor yang memudahkan terjadinya progresi degenerasi pada vertebra lumbal yaitu (Kimberley Middleton and David E. Fish, 2009) :
a.    Faktor usia
Beberapa penelitian pada osteoarthritis telah menjelaskan bahwa proses penuaan merupakan faktor resiko yang sangat kuat untuk degenerasi tulang khususnya pada tulang vertebra. Suatu penelitian otopsi menunjukkan bahwa spondylitis deformans atau spondylosis meningkat secara linear sekitar 0% - 72% antara usia 39 – 70 tahun. Begitu pula, degenerasi diskus terjadi sekitar 16% pada usia 20 tahun dan sekitar 98% pada usia 70 tahun.
b.    Stress akibat aktivitas dan pekerjaan
Degenerasi diskus juga berkaitan dengan aktivitas-aktivitas tertentu. Penelitian retrospektif menunjukkan bahwa insiden trauma pada lumbar, indeks massa tubuh, beban pada lumbal setiap hari (twisting, mengangkat, membungkuk, postur jelek yang terus menerus), dan vibrasi seluruh tubuh (seperti berkendaraan), semuanya merupakan faktor yang dapat meningkatkan kemungkinan spondylosis dan keparahan spondylosis.
c.    Peran herediter
Faktor genetik mungkin mempengaruhi formasi osteofit dan degenerasi diskus. Penelitian Spector and MacGregor menjelaskan bahwa 50% variabilitas yang ditemukan pada osteoarthritis berkaitan dengan faktor herediter. Kedua penelitian tersebut telah mengevaluasi progresi dari perubahan degeneratif yang menunjukkan bahwa sekitar ½ (47 – 66%) spondylosis berkaitan dengan faktor genetik dan lingkungan, sedangkan hanya 2 – 10% berkaitan dengan beban fisik dan resistance training.
d.   Adaptasi fungsional
Penelitian Humzah and Soames menjelaskan bahwa perubahan degeneratif pada diskus berkaitan dengan beban mekanikal dan kinematik vertebra. Osteofit mungkin terbentuk dalam proses degenerasi dan kerusakan cartilaginous mungkin terjadi tanpa pertumbuhan osteofit. Osteofit dapat terbentuk akibat adanya adaptasi fungsional terhadap instabilitas atau perubahan tuntutan pada vertebra lumbar.
3.    Patologi
Salah satu aspek yang penting dari proses penuaan adalah hilangnya kekuatan tulang. Perubahan ini menyebabkan modifikasi kapasitas penerimaan beban (load-bearing) pada vertebra. Setelah usia 40 tahun, kapasitas penerimaan beban pada tulang cancellous/trabecular berubah secara dramatis. Sebelum usia 40 tahun, sekitar 55% kapasitas penerimaan beban terjadi pada tulang cancellous/ trabecular. Setelah usia 40 tahun penurunan terjadi sekitar 35%. Kekuatan tulang menurun dengan lebih cepat dibandingkan kuantitas tulang. Hal ini menurunkan kekuatan pada end-plates yang melebar jauh dari diskus, sehingga terjadi fraktur pada tepi corpus vertebra dan fraktur end-plate umumnya terjadi pada vertebra yang osteoporosis (Darlene Hertling and Randolph M. Kessler, 2006).
Cartilaginous end-plate dari corpus vertebra merupakan titik lemah dari diskus sehingga adanya beban kompresi yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan pada cartilaginous end-plate. Pada usia 23 tahun sampai 40 tahun, terjadi demineralisasi secara bertahap pada cartilago end-plate. Pada usia 60 tahun, hanya lapisan tipis tulang yang memisahkan diskus dari channel vaskular, dan channel nutrisi lambat laun akan hilang dengan penebalan pada pembuluh arteriole dan venules. Perubahan yang terjadi akan memberikan peluang terjadinya patogenesis penyakit degenerasi pada diskus lumbar. Disamping itu, diskus intervertebralis orang dewasa tidak mendapatkan suplai darah dan harus mengandalkan difusi untuk nutrisi (Darlene Hertling and Randolph M. Kessler, 2006).
Menurut Kirkaldy-Willis (dalam Darlene Hertling and Randolph M. Kessler, 2006), terdapat sistem yang berdasarkan pada pemahaman segment gerak yang mengalami degenerasi. Perubahan degeneratif pada segmen gerak dapat dibagi kedalam 3 fase kemunduran yaitu :
a.        Fase disfungsi awal (level I)
proses patologik kecil yang menghasilkan fungsi abnormal pada komponen posterior dan diskus intervertebralis. Kerusakan yang terjadi pada segmen gerak masih bersifat sementara (reversible). Perubahan yang terjadi pada facet joint selama fase ini sama dengan yang terjadi pada sendi sinovial lainnya. Kronik sinovitis dan efusi sendi dapat menyebabkan stretch pada kapsul sendi. Membran synovial yang inflamasi dapat membentuk suatu lipatan didalam sendi sehingga menghasilkan penguncian didalam sendi antara permukaan cartilago dan kerusakan cartilago awal. Paling sering terjadi pada fase disfungsi awal selain melibatkan kapsul dan synovium juga melibatkan permukaan cartilago atau tulang penopang (corpus vertebra). Disfungsi diskus pada fase ini masih kurang jelas tetapi kemungkinan melibatkan beberapa kerobekan circumferential pada annulus fibrosus. Jika kerobekannya pada lapisan paling luar maka penyembuhannya mungkin terjadi karena adanya beberapa suplai darah. Pada lapisan paling dalam, mungkin kurang terjadi penyembuhan karena sudah tidak ada lagi suplai darah. Secara perlahan akan terjadi pelebaran yang progresif pada area circumferential yang robek dimana bergabung kedalam kerobekan radial. Nukleus mulai mengalami perubahan dengan hilangnya kandungan proteoglycan.
b.        Fase instabilitas intermediate (level II)
fase ini menghasilkan laxitas (kelenturan yang berlebihan) pada kapsul sendi bagian posterior dan annulus fibrosus. Perubahan permanen dari instabilitas dapat berkembang karena kronisitas dan disfungsi yang terus menerus pada tahun-tahun awal. Re-stabilisasi segmen posterior dapat membentuk formasi tulang subperiosteal atau formasi tulang (ossifikasi) sepanjang ligamen dan serabut kapsul sendi, sehingga menghasilkan osteofit perifacetal dan traksi spur. Pada akhirnya, diskus membentuk jangkar oleh adanya osteofit perifer yang berjalan disekitar circumferentianya, sehingga menghasilkan segmen gerak yang stabil.
c.        Fase stabilisasi akhir (level III)
fase ini menghasilkan fibrosis pada sendi bagian posterior dan kapsul sendi, hilangnya material diskus, dan formasi osteofit. Osteofit membentuk respon terhadap gerak abnormal untuk menstabilisasi segmen gerak yang terlibat. Formasi osteofit yang terbentuk disekitar three joint dapat meningkatkan permukaan penumpuan beban dan penurunan gerakan, sehingga menghasilkan suatu kekakuan segmen gerak dan menurunnya nyeri hebat pada segmen gerak.
Pada lumbar spine bagian atas, degenerasi mulai terlihat pada awal level I dengan fraktur end-plate dan herniasi diskus, kaitannya dengan beban vertikal yang esensial terhadap segmen tersebut. Penyakit facet mulai terjadi pada lumbar spine bagian atas. Pada lumbal spine bagian bawah, perubahan diskus mulai terjadi pada usia belasan tahun terakhir, dan perubahan facet terjadi pada middle usia 20-an. Secara khas, lesi pertama kali terjadi pada L5 – S1 dan pada L4 – L5. Perubahan degenerasi pada synovial dan intervertebral joint dapat terjadi secara bersamaan, dan paling sering terjadi pada lumbosacral joint. Spondylosis dan perubahan arthrosis yang melibatkan seluruh segmen gerak sangat berkaitan dengan faktor usia dan terjadi sekitar 60% pada orang-orang yang lebih tua dari usia 45 tahun (Darlene Hertling and Randolph M. Kessler, 2006).
Schneck menjelaskan adanya progresi mekanikal yang lebih jauh akibat perubahan degeneratif pada diskus intervertebralis, untuk menjelaskan adanya perubahan degeneratif lainnya pada axial spine. Dia menjelaskan beberapa implikasi dari penyempitan space diskus. Pedicle didekatnya akan mengalami aproksimasi dengan penyempitan dimensi superior-inferior dari canalis intervertebralis. Laxitas akibat penipisan ligamen longitudinal posterior yang berlebihan dapat memungkinkan bulging (penonjolan) pada ligamen flavum dan potensial terjadinya instabilitas spine. Peningkatan gerakan spine dapat memberikan peluang terjadinya subluksasi dari processus articular superior sehingga menyebabkan penyempitan dimensi anteroposterior dari intervertebral joint dan canalis akar saraf bagian atas. Laxitas juga dapat menyebabkan perubahan mekanisme berat dan tekanan kaitannya dengan corpus vertebra dan space sendi yang mempengaruhi terbentuknya formasi osteofit dan hipertropi facet pada processus articular inferior – superior, dengan resiko terjadinya proyeksi kedalam canalis intervertebralis dan canalis sentral secara berurutan (Kimberley Middleton and David E. Fish, 2009).
Keluhan nyeri pinggang pada kondisi spondylosis lumbal disebabkan oleh adanya penurunan space diskus dan penyempitan foramen intervertebralis. Adanya penurunan space diskus dan penyempitan foramen intervertebralis dapat menghasilkan iritasi pada radiks saraf sehingga menimbulkan nyeri pinggang yang menjalar. Disamping itu, osteofit pada facet joint dapat mengiritasi saraf spinal pada vertebra sehingga dapat menimbulkan nyeri pinggang (S.E. Smith, 2009).

4.    Gambaran Klinis
Perubahan degeneratif dapat menghasilkan nyeri pada axial spine akibat iritasi nociceptive yang diidentifikasi terdapat didalam facet joint, diskus intervertebralis, sacroiliaca joint, akar saraf duramater, dan struktur myofascial didalam axial spine (Kimberley Middleton and David E. Fish, 2009).
Perubahan degenerasi anatomis tersebut dapat mencapai puncaknya dalam gambaran klinis dari stenosis spinalis, atau penyempitan didalam canalis spinal melalui pertumbuhan osteofit yang progresif, hipertropi processus articular inferior, herniasi diskus, bulging (penonjolan) dari ligamen flavum, atau spondylolisthesis. Gambaran klinis yang muncul berupa neurogenik claudication, yang mencakup nyeri pinggang, nyeri tungkai, serta rasa kebas dan kelemahan motorik pada ekstremitas bawah yang dapat diperburuk saat berdiri dan berjalan, dan diperingan saat duduk dan tidur terlentang (Kimberley Middleton and David E. Fish, 2009).
Karakteristik dari spondylosis lumbal adalah nyeri dan kekakuan gerak pada pagi hari. Biasanya segmen yang terlibat lebih dari satu segmen. Pada saat aktivitas, biasa timbul nyeri karena gerakan dapat merangsang serabut nyeri dilapisan luar annulus fibrosus dan facet joint. Duduk dalam waktu yang lama dapat menyebabkan nyeri dan gejala-gejala lain akibat tekanan pada vertebra lumbar. Gerakan yang berulang seperti mengangkat beban dan membungkuk (seperti pekerjaan manual dipabrik) dapat meningkatkan nyeri (John J. Regan, 2010).
B.       Tinjauan Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Spondylosis Lumbal
1.    Problematik Fisioterapi

Spondylosis lumbal umumnya menimbulkan nyeri dan kekakuan gerak pada regio lumbal, khususnya muncul pada pagi hari. Nyeri dapat bersifat menjalar baik ke dorsal paha maupun ke daerah kaki. Rasa nyeri dan kekakuan dapat menyebabkan spasme pada otot erector spine sehingga membatasi gerakan pada lumbal. Dengan demikian, kondisi ini dapat menimbulkan problematik fisioterapi, antara lain : nyeri menjalar, spasme otot erector spine lumbal, keterbatasan gerak vertebra lumbal yang menyebabkan gangguan fleksibilitas lumbal.