PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Permasalahan muskuloskeletal selalu menarik
perhatian bagi seorang fisioterapis. Timbulnya spasme pada otot yang mengalami
kelelahan, nyeri otot pada saat aktivitas maupun setelahnya , kontraktur dan
rasa kesemutan merupakan beberapa problem akibat gangguan musculoskeletal yang
sangat mengganggu kenyamanan dan produktivitas seseorang.
Permasalahan muskuloskeletal yang sangat mengganggu seorang
individu adalah timbulnya nyeri dengan segala deviasinya. Kontraktur mungkin
mengganggu produktivitas seseorang, namun dia baru akan merasa dirinya sakit
dan tidak nyaman dalam hidupnya, kemudian mencari pertolongan bila rasa nyeri
sudah terasa.
Myofascial Trigger Point Syndrom (MTPS)
adalah salah satu kondisi yang dapat memunculkan nyeri selain penyebab yang
berasal dari saraf, tulang, dan sendi. MTPS sendiri adalah sebuah sindrom yang
muncul akibat teraktivasinya sebuah atau beberapa trigger point dalam serabut
otot. Trigger Point merupakan faktor besar penyebab timbulnya musculoskeletal
disorder yang sayangnya sering salah didiagnosa. Kesalahan interpretasi ini mengakibatkan
kasus-kasus Trigger Point tidak tertangani secara
tepat (David Simons, 2003).
1
|
Penyebab dari nyeri myofascial dibagi menjadi dua
yaitu mekanik dan ergonomic. Penyebab mekanik yang dimaksudkan disini adalah
terjadinya trauma akut atau repetitive mikrotrauma. Trauma ini biasanya
disebabkan karena postur tubuh yang jelek (scoliosis, lordosis, kyposcoliosis),
gangguan tidur dan problem pada sendi. Sedangkan penyebab secara ergonomic
misalnya posisi tidur yang jelek, posisi kerja yang buruk, sering memakai
sepatudengan hak tinggi, dan sebagainya. Gejala dari nyeri myofascial biasanya
muncul di sekujur tubuh dari kepala sampai kaki. Di daerah kepala, nyeri ini
sering mengakibatkan terjadinya nyeri kepala, migraine, leher tegang, vertigo,
nyeri bahu sampai tangan (yang sering disalahartikan dengan asam urat). Di
daerah punggung, nyeri ini sering mengakibatkan terjadinya nyeri pinggang (Low
Back Pain/LBP), nyeri menjalar sampai kaki, dan sebagainya.
Menurut penelitian F.Wolf (1995) yang dimuat dalam
presentasi David Simons (2003) , 98 % kasus Nyeri berasal dari musculoskeletal,
dan nyeri muskuloskeletal yang berasal dari otot lebih sering mengacu pada Fibromyalgia
Syndrome dan MTPS dalam serabut otot.
Dalam permasalahan trigger point ini maka
penghargaan terbesar patut diberikan kepada DR Janet Travell, yang telah banyak
menulis buku, jurnal maupun penelitian yang terkait dengan trigger point (Doommerholt,dkk,
2006). Di dunia kedokteran sendiri, seperti yang ditunjukkan oleh Simons dalam
makalahnya di atas, otot sebagai sebuah organ diperlakukan seperti anak yatim,
beliau kemudian menyindir ketiadaan spesialisasi kedokteran yang mengambil otot
sebagai bidang garapannya dalam dunia kedokteran.
Akibatnya banyak keluhan- keluhan nyeri yang berasal
dari otot namun salah diasosiasikan keluhan-keluhan nyeri yang berasal dari
saraf, sendi, atau tulang, karena kurangnya interes di bidang ini. Seperti
misalnya keluhan Ischialgia banyak yang didiagnosa berasal dari spondylosis
atau Hernia Nukleus Pulposus, keluhan nyeri leher apalagi yang menjalar
ke tangan dan lengan didiagnosa sebagai Cervical Root Syndrom. Padahal banyak
jenis nyeri seperti diatas dan juga nyeri abdominal, epigastric atau seperti nyeri
anginal yang bersangkutan dengan MTPS (Thamrinsyam Hisyam, 2000).
Di balik
keluhan-keluhan nyeri yang di derita pasien banyak yang berhubungan dengan Trigger
Points (Jan Dommerholt, 2006).
Dari 13 orang dengan 8 otot yang diteliti hanya satu orang yang tidak mempunyai
Trigger point, dua belas orang mempunyai trigger poin di 8 ototnya
dengan penyebaran yang berbeda-beda (David Simons, 2003). Hal ini menunjukkan bahwa
banyak di antara kita yang sesungguhnya mempunyai trigger points, hanya saja
karena berupa laten/pasif Trigger points maka tidak begitu terasakan.
Salah satu pembentuk dan pembangkit aktualitas trigger
points yang sudah terkenal secara umum adalah kontraksi otot yang
berlangsung terus-menerus yang salah satunya disebabkan postur kerja yang salah
(Huguenin,2003). Sehingga faktor pola kerja yang ergonomis akan sangat
mempengaruhi timbulnya MTPS atau aktifnya laten trigger points (Edwards J, 2006). Adanya kegiatan tubuh
yang termasuk kedalam Sustained low level contraction , seperti
aktivitas mengetik selama 30 menit terus-menerus umumnya akan menimbulkan MTPS
(Treasters,et al, 2006) . Andersen, et al (1995) menyatakan bahwa
MTPS merupakan kondisi yang umum ditemukan pada pekerja kantoran, musisi,
dokter gigi, dan jenis profesi lainnya yang aktivitas pekerjaannya banyak menggunakan
low level muscle exertion.
Dari beberapa keluhan yang datang mengenai nyeri
bahu baik dari teman-teman seprofesi maupun dari pasien yang datang. Keluhan
MTPS banyak tertuju pada trapezius upper dimana
berdasarkan kondisi ini sangat
menganggu tingkat produktivitas mereka, dan bahkan di tingkat nyeri tertentu
menyebabkan kecemasan yang tinggi dan mengganggu ketenangan hidupnya karena
mengira keluhannya berkaitan dengan penyakit metabolik yang dianggap mengganggu
kelangsungan hidup seperti stroke dan penyakit jantung.
Kasus yang
ditemukan di tempat penulis bekerja kebanyakan diderita oleh orang-orang yang
sehari-hari harus duduk didalam kantor atau tempat mereka rata-rata selama 6
jam dalam posisi yang statis. Mereka
sehari-hari bekerja dalam posisi yang menetap seperti mengetik, duduk di tempat
bekerja yang sangat membutuhkan kerja extra dari otot trapezius upper. Keluhan yang mereka kemukakan berkisar rasa tak
nyaman di leher dan bahu, migraine, rasa nyeri tumpul atau dingin di daerah
bahu sampai ke\ lengan dan dada , migraine, vertigo, serta kadang-kadang muncul
rasa semutan dan perasaan seperti terbakar pada punggung atas dan lengan yang
kemudian diikuti ketidakmampuan lengan untuk menahan posisinya ketika
berektivitas.
Ketika
ada aktivitas pekerjaan yang menggunakan otot trapezius upper maka kedua faktor
diatas ini akan menimbulkan hipoksia dalam sel otot dan akhirnya mengakibatkan
penurunan PH lokal dan keluarnya substansi-substansi yang dapat menstimulasi
aktivitas nociceptor otot dan dorsal horn medulla spinalis. Aktivitas
nociceptor ini akan menimbulkan spasme, allodynia, hiperesthesia dan mekanik
hyperalgesia baik lokal maupun rujukan yang merupakan tanda khas dari myofascial trigger point syndroma
(Dommerholt, 2006). Tanda khas MTPS yang lain adalah penurunan kekuatan otot
yang berlangsung secara tiba-tiba. Penurunan kekuatan ini secara klinis sangat
berkaitan dengan Trigger Point dalam otot tersebut. Karena ketika Trigger
Point berhasil dinonaktifkan maka kekuatan otot secara instan akan kembali
pulih. Penurunan kekuatan yang khas ini diduga akibat inhibisi komponen motorik
yang reversible dan berasal level medulla spinalis (Gerwin RD, 2004).
Untuk
itu penulis ingin mengetahui lebih dalam tentang kondisi myofascial trigger point syndroma ini dengan penelitian tentang perbedaan
pemberian Intervensi Ultra Sound dengan pemberian Infra Red ditambah myofacial release terhadap kasus
myofacial tringer point synroma trapezius upper di Rumah Sakit Umum Kota Solok.
Dimana ultra sound merupakan salah satu modalitas fisioterapi yang dapat
memberikan efek mokro massage terhadap jaringan yang mengalami cedera atau
keterbatasan baik pada otot maupun pada sendi. Sedangkan Myofacial
release adalah teknik pengobatan yang dilakukan oleh tangan yang aman dan
efektif terhadap pembatasan jaringan ikat myofacial untuk menghilangkan rasa
sakit dan mengembalikan fungsi gerak yang dilakukan dengan cara memberikan
tekanan lembut yang berkelanjutan terhadap suatu jaringan (Barnes, 1990).
B. Rumusan
Masalah
1. Apakah
ada pengaruh pemberian intervensi ultra sound terhadap pengurangan nyeri pada
penderita myofacial tringger point sydroma?
2. Apakah
ada pengaruh pemberian ultra sound dan myofacial release terhadap pengurangan
nyeri pada penderita myofascial tringger
point syndrome?
3. Apakah
ada perbedaan pemberian intervensi Ultra Sound dengan pemberian Intervensi
ultra sound dan myofascial release terhadap penderita myofascial tringger point
syndrome?
C.
Tujuan
Penelitian
1. Untuk
mengetahui pengaruh pemberian intervensi Ultra Sound terhadap pengurangan nyeri
pada penderita myofacial tringger point sydroma?
2. Untuk
mengetahui pengaruh pemberian ultra sound dan myofacial release terhadap pengurangan
nyeri pada penderita myofascial tringger
point syndrome?
3. Untuk
mengetahui perbedaan pemberian intervensi Ultra Sound dengan pemberian
Intervensi ultra sound dan myofascial release terhadap penderita myofascial
tringger point syndrome.
D.
Manfaat
Penelitian
Adapun
manfaat yang hendak diperoleh dari hasil penelitian ini antara lain:
1. Bagi
Institusi Pendidikan Fisioterapi
Sebagai
tambahan khasanah keilmuan tentang Myofacial Tringger Point Syndroma dan Metode
penanganannya.
2. Bagi
Fisioterapi
Sebagai
masukan tentang kondisi Myofacial Tringger Point Syndroma dan variasi
penanganannya yang lebih efektif dan efisien.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar