Senin, 15 Juli 2013

Myofascial Trigger Point dengan Ultra Sound dan Myofascial Release

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Permasalahan muskuloskeletal selalu menarik perhatian bagi seorang fisioterapis. Timbulnya spasme pada otot yang mengalami kelelahan, nyeri otot pada saat aktivitas maupun setelahnya , kontraktur dan rasa kesemutan merupakan beberapa problem akibat gangguan musculoskeletal yang sangat mengganggu kenyamanan dan produktivitas seseorang.
Permasalahan muskuloskeletal yang sangat mengganggu seorang individu adalah timbulnya nyeri dengan segala deviasinya. Kontraktur mungkin mengganggu produktivitas seseorang, namun dia baru akan merasa dirinya sakit dan tidak nyaman dalam hidupnya, kemudian mencari pertolongan bila rasa nyeri sudah terasa.
Myofascial Trigger Point Syndrom (MTPS) adalah salah satu kondisi yang dapat memunculkan nyeri selain penyebab yang berasal dari saraf, tulang, dan sendi. MTPS sendiri adalah sebuah sindrom yang muncul akibat teraktivasinya sebuah atau beberapa trigger point dalam serabut otot. Trigger Point merupakan faktor besar penyebab timbulnya musculoskeletal disorder yang sayangnya sering salah didiagnosa. Kesalahan interpretasi ini mengakibatkan kasus-kasus Trigger Point tidak tertangani secara tepat (David Simons, 2003).
1
Nyeri myofascial adalah titik-titik yang hiper-iritasi, memiliki ciri khas tersendiri, terasa bunyi bila ditekan, yang terletak pada taut band otot skeletal. Nyeri myofascial dicirikan dengan adanya trigger point atau titik cetus. Titik cetus ini sangat nyeri bila ditekan dan dapat menghasilkan nyeri rujukan (reffered pain), disfungsi motorik dan fenomena autonom (keringat yang kurang di daerah yang nyeri). Trigger point yang menghasilkan reffered pain kadang tidak berhubungan dengan penjalaran saraf.
Penyebab dari nyeri myofascial dibagi menjadi dua yaitu mekanik dan ergonomic. Penyebab mekanik yang dimaksudkan disini adalah terjadinya trauma akut atau repetitive mikrotrauma. Trauma ini biasanya disebabkan karena postur tubuh yang jelek (scoliosis, lordosis, kyposcoliosis), gangguan tidur dan problem pada sendi. Sedangkan penyebab secara ergonomic misalnya posisi tidur yang jelek, posisi kerja yang buruk, sering memakai sepatudengan hak tinggi, dan sebagainya. Gejala dari nyeri myofascial biasanya muncul di sekujur tubuh dari kepala sampai kaki. Di daerah kepala, nyeri ini sering mengakibatkan terjadinya nyeri kepala, migraine, leher tegang, vertigo, nyeri bahu sampai tangan (yang sering disalahartikan dengan asam urat). Di daerah punggung, nyeri ini sering mengakibatkan terjadinya nyeri pinggang (Low Back Pain/LBP), nyeri menjalar sampai kaki, dan sebagainya.
Menurut penelitian F.Wolf (1995) yang dimuat dalam presentasi David Simons (2003) , 98 % kasus Nyeri berasal dari musculoskeletal, dan nyeri muskuloskeletal yang berasal dari otot lebih sering mengacu pada Fibromyalgia Syndrome dan MTPS dalam serabut otot.
Dalam permasalahan trigger point ini maka penghargaan terbesar patut diberikan kepada DR Janet Travell, yang telah banyak menulis buku, jurnal maupun penelitian yang terkait dengan trigger point (Doommerholt,dkk, 2006). Di dunia kedokteran sendiri, seperti yang ditunjukkan oleh Simons dalam makalahnya di atas, otot sebagai sebuah organ diperlakukan seperti anak yatim, beliau kemudian menyindir ketiadaan spesialisasi kedokteran yang mengambil otot sebagai bidang garapannya dalam dunia kedokteran.
Akibatnya banyak keluhan- keluhan nyeri yang berasal dari otot namun salah diasosiasikan keluhan-keluhan nyeri yang berasal dari saraf, sendi, atau tulang, karena kurangnya interes di bidang ini. Seperti misalnya keluhan Ischialgia banyak yang didiagnosa berasal dari spondylosis atau Hernia Nukleus Pulposus, keluhan nyeri leher apalagi yang menjalar ke tangan dan lengan didiagnosa sebagai Cervical Root Syndrom. Padahal banyak jenis nyeri seperti diatas dan juga nyeri abdominal, epigastric atau seperti nyeri anginal yang bersangkutan dengan MTPS (Thamrinsyam Hisyam, 2000).
Di balik keluhan-keluhan nyeri yang di derita pasien banyak yang berhubungan dengan Trigger Points (Jan Dommerholt, 2006). Dari 13 orang dengan 8 otot yang diteliti hanya satu orang yang tidak mempunyai Trigger point, dua belas orang mempunyai trigger poin di 8 ototnya dengan penyebaran yang berbeda-beda (David Simons, 2003). Hal ini menunjukkan bahwa banyak di antara kita yang sesungguhnya mempunyai trigger points, hanya saja karena berupa laten/pasif Trigger points maka tidak begitu terasakan.
Salah satu pembentuk dan pembangkit aktualitas trigger points yang sudah terkenal secara umum adalah kontraksi otot yang berlangsung terus-menerus yang salah satunya disebabkan postur kerja yang salah (Huguenin,2003). Sehingga faktor pola kerja yang ergonomis akan sangat mempengaruhi timbulnya MTPS atau aktifnya laten trigger points (Edwards J, 2006). Adanya kegiatan tubuh yang termasuk kedalam Sustained low level contraction , seperti aktivitas mengetik selama 30 menit terus-menerus umumnya akan menimbulkan MTPS (Treasters,et al, 2006) . Andersen, et al (1995) menyatakan bahwa MTPS merupakan kondisi yang umum ditemukan pada pekerja kantoran, musisi, dokter gigi, dan jenis profesi lainnya yang aktivitas pekerjaannya banyak menggunakan low level muscle exertion.
Dari beberapa keluhan yang datang mengenai nyeri bahu baik dari teman-teman seprofesi maupun dari pasien yang datang. Keluhan MTPS banyak tertuju pada trapezius upper dimana berdasarkan kondisi ini sangat menganggu tingkat produktivitas mereka, dan bahkan di tingkat nyeri tertentu menyebabkan kecemasan yang tinggi dan mengganggu ketenangan hidupnya karena mengira keluhannya berkaitan dengan penyakit metabolik yang dianggap mengganggu kelangsungan hidup seperti stroke dan penyakit jantung.
Kasus yang ditemukan di tempat penulis bekerja kebanyakan diderita oleh orang-orang yang sehari-hari harus duduk didalam kantor atau tempat mereka rata-rata selama 6 jam dalam posisi  yang statis. Mereka sehari-hari bekerja dalam posisi yang menetap seperti mengetik, duduk di tempat bekerja yang sangat membutuhkan kerja extra dari otot trapezius upper. Keluhan yang mereka kemukakan berkisar rasa tak nyaman di leher dan bahu, migraine, rasa nyeri tumpul atau dingin di daerah bahu sampai ke\ lengan dan dada , migraine, vertigo, serta kadang-kadang muncul rasa semutan dan perasaan seperti terbakar pada punggung atas dan lengan yang kemudian diikuti ketidakmampuan lengan untuk menahan posisinya ketika berektivitas.
            Ketika ada aktivitas pekerjaan yang menggunakan otot trapezius upper maka kedua faktor diatas ini akan menimbulkan hipoksia dalam sel otot dan akhirnya mengakibatkan penurunan PH lokal dan keluarnya substansi-substansi yang dapat menstimulasi aktivitas nociceptor otot dan dorsal horn medulla spinalis. Aktivitas nociceptor ini akan menimbulkan spasme, allodynia, hiperesthesia dan mekanik hyperalgesia baik lokal maupun rujukan yang merupakan tanda khas dari myofascial trigger point syndroma (Dommerholt, 2006). Tanda khas MTPS yang lain adalah penurunan kekuatan otot yang berlangsung secara tiba-tiba. Penurunan kekuatan ini secara klinis sangat berkaitan dengan Trigger Point dalam otot tersebut. Karena ketika Trigger Point berhasil dinonaktifkan maka kekuatan otot secara instan akan kembali pulih. Penurunan kekuatan yang khas ini diduga akibat inhibisi komponen motorik yang reversible dan berasal level medulla spinalis (Gerwin RD, 2004).
            Untuk itu penulis ingin mengetahui lebih dalam tentang kondisi myofascial trigger point syndroma ini dengan penelitian tentang perbedaan pemberian Intervensi Ultra Sound dengan  pemberian Infra Red ditambah myofacial release terhadap kasus myofacial tringer point synroma trapezius upper di Rumah Sakit Umum Kota Solok. Dimana ultra sound merupakan salah satu modalitas fisioterapi yang dapat memberikan efek mokro massage terhadap jaringan yang mengalami cedera atau keterbatasan baik pada otot maupun pada sendi. Sedangkan Myofacial release adalah teknik pengobatan yang dilakukan oleh tangan yang aman dan efektif terhadap pembatasan jaringan ikat myofacial untuk menghilangkan rasa sakit dan mengembalikan fungsi gerak yang dilakukan dengan cara memberikan tekanan lembut yang berkelanjutan terhadap suatu jaringan (Barnes, 1990).
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah ada pengaruh pemberian intervensi ultra sound terhadap pengurangan nyeri pada penderita myofacial tringger point sydroma?
2.      Apakah ada pengaruh pemberian ultra sound dan myofacial release terhadap pengurangan nyeri  pada penderita myofascial tringger point syndrome?
3.      Apakah ada perbedaan pemberian intervensi Ultra Sound dengan pemberian Intervensi ultra sound dan myofascial release terhadap penderita myofascial tringger point syndrome?
C.    Tujuan Penelitian
1.      Untuk mengetahui pengaruh pemberian intervensi Ultra Sound terhadap pengurangan nyeri pada penderita myofacial tringger point sydroma?
2.      Untuk mengetahui pengaruh pemberian ultra sound dan  myofacial release terhadap pengurangan nyeri  pada penderita myofascial tringger point syndrome?
3.      Untuk mengetahui perbedaan pemberian intervensi Ultra Sound dengan pemberian Intervensi ultra sound dan myofascial release terhadap penderita myofascial tringger point syndrome.
D.    Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang hendak diperoleh dari hasil penelitian ini antara lain:
1.      Bagi Institusi Pendidikan Fisioterapi
Sebagai tambahan khasanah keilmuan tentang Myofacial Tringger Point Syndroma dan Metode penanganannya.
2.      Bagi Fisioterapi
Sebagai masukan tentang kondisi Myofacial Tringger Point Syndroma dan variasi penanganannya yang lebih efektif dan efisien.
  




Tidak ada komentar:

Posting Komentar